Minggu, 29 November 2009

Cerpen

TAK TERGANTIKAN

Malam yang begitu menyesakkan dada, indah, namun hanya kehampaan yang ada, tanpa bulan dan bintang. Kuambil secangkir kopi yang sedari tadi menyendiri di meja samping. Pekatnya kopi tak sepekat pikiranku yang sedang kalut. Sudah beberapa hari ini, aku tidak bisa memejamkan mata entah apa yang tengah mengganggu pikiranku membuatku sulit tidur dan yang lebih aneh lagi, aku yang tidak terbiasa untuk duduk di teras pada malam hari kini menjadi sebuah ketergantungan. Bayangkan saja, aku dapat duduk di teras hingga pukul satu pagi. Mama yang biasanya selalu bawel dengan segala aktivitasku malahan sama sekali tidak berkomentar. Sementara itu, Papa sudah seminggu ini tidak pulang. Mungkin ini semua dampak dari masalah keluarga yang sedang kami alami yang membuat semua orang di rumah merasa aneh dan canggung satu sama lain, jangankan untuk saling bercerita seperti dulu, sekadar bertegur sapa pun jarang.
Kuseruput kembali segelas kopi dalam genggamanku, sambil tak henti memikirkan penyebab dari segala prahara rumah tangga Papa dan Mamaku. Sebenarnya, aku bukanlah sosok yang begitu peduli dengan urusan orangtuaku namun keadaan yang kepalang tidak mengenakkan memaksaku untuk turut campur dalam urusan ini.
“Din! Kenapa kamu masih di luar, Sayang?” suara yang terdengar akrab menegurku dari arah pagar. Suara yang sudah lumayan lama tidak kudengar, suara orang yang selalu memanjakanku , suara Papa.
“Pa…pa??” balasku dengan nada ragu-ragu.
“Iya, Sayang…..”
Aku langsung berlari menyambut Papa yang sedang berdiri di depan pagar. Tanpa rasa ragu sedikitpun kudekati Papa, aku sudah tak sabar untuk bercerita banyak pada Papa dan melaporkan padanya keadaan Mama yang kacau tanpanya.
“Papa? Papa kemana aja aku kangen….” kataku seraya mendekatkan diri ke arah Papa, sosok yang selama ini selalu menjaga dan melindungiku.
“Papa ga kemana-mana, Papa selalu ada didekat kamu kok. Mungkin kamu yang tidak sadar,.” sahut Papa seraya tersenyum.
“Apanya yang didekatku? Sedangkan aku saja sudah seminggu ini ngga ngeliat Papa. Sebenarnya, Papa kemana sih? Aku tanya Mama, dia malah diem aja. Aku bingung deh, kenapa semuanya jadi aneh? Aku ngga tahu apa yang salah, aku merasa benar-benar bingung, Pa. Kita, kan cuma bertiga kalau seperti ini keadaannya aku merasa kesepian, Pa. Belum lagi belakangan ini Mama seperti menghindar dari aku dan akibatnya kami sekarang sudah jarang ngomong, Pa. Papa bisa bayangin, kan? Sebenarnya, ada apa sih, Pa?” ceritaku pada Papa yang sekarang sedang duduk di sampingku.
Seperti biasa Papa hanya tersenyum setiap kali melihat aku melaporkan situasi terbaru padanya, senyum yang bisa menenangkan setiap orang yang melihatnya seperti berkata “semuanya akan baik-baik saja karena aku sudah di sini”. Senyum yang selama seminggu ini aku rindukan.
“Pa? Papa?! Kok malah senyum aja sih?”
“Andini, Sayang. Papa tahu situasi sekarang pasti sangat tidak enak buat kamu, Papa tahu kamu juga merasa sangat kesepian. Tapi, Sayang…Kamu harus tahu satu hal mungkin situasinya akan semakin menyulitkan nanti namun kamu harus tetap tegar dan percaya semuanya akan baik-baik saja,” jawab Papa sambil membelai rambutku.
Sejujurnya, aku tak bisa lagi membayangkan hal yang lebih buruk lagi dari ini. Mendengar kata-kata Papa ada secercah kedamaian yang menyusup ke relung hatiku namun secara bersamaan ketakutan yang besar menguasai pikiranku. Tanpa kusadari tetesan air keluar dari mataku, kupandangi Papa dengan perasaan sedih yang mendalam. Tangan Papa yang dingin mendarat ke pipiku untuk mengusap airmata yang menetes. Tak berapa lama kemudian aku pun sudah terlelap, melayang jauh ke alam mimpi, menjauhkanku dari Papa dan dari segala masalah yang membentang untuk sejenak melupakannya.
* * *

“Din, Dini!!” suara itu dengan segera mengusir bayangan yang dari tadi tengah kurajut dan menghancurkan semua perasaan yang terlibat didalamnya. Dengan segera kuhapus airmata yang tak kutahu sejak kapan mulai menggenangi pelupuk mataku.
“Din, dari tadi gue liatin lo, kok selalu ngelamun sih? Yah, meskipun bukan hari ini aja tapi hari ini lo paling sering ngelamun. Apa hari ini Hari Ngelamun Sedunia?” lanjut Artika, sahabat terbaikku.
Mendengar kelakarnya mau tidak mau aku pun tersenyum, dia memang orang yang bisa membuatku terhibur di tengah masalah yang menghimpitku, Artika, adalah sosok sahabat yang sejati.
“Bukannya hari ini seharusnya lo seneng? Eza yang selama ini lo impi-impiin jadi pacar lo, pangeran berkuda putih yang akan membebaskan putrinya dari siksaan penyihir yang jahat, tadi pagi baru saja mengumandangkan cintanya kepada putri Andini Prasetya,” ceplosnya dengan semangat yang berapi-api.
“HALLOO….APA ADA ORANG? Ya, ampun…Apa yang di depan gue ini putri yang udah dikutuk jadi batu kali, ya? Gue ngomong dianggurin. Halo?? Andini Prasetya? “
“Eh, iya…iya…gue seneng kok seneng banget malah,“ jawabku singkat namun masih dengan ekspresi datar.
“Seneng?! Ekspresi kaya gini lo bilang seneng?” balasnya sambil menghadapkan wajahku ke cermin kecil yang menjadi pasangan jiwanya, karena selalu menemaninya kemanapun dia pergi.
“Sebenarnya ada masalah apa sih, Din? Lo ngga mau cerita sama gue? Beberapa hari ini lo ngga nyadar apa? Gue juga ikut tersiksa dengan keadaan sobat gue yang sangat amat aneh kaya sekarang ini. Selalu ngelamun, pandangan kosong, bahkan sekarang ini lo jarang banget ngomong. Lo mau nyimpen semua ini sendiri? Ga pa-pa sih, tapi sampai kapan?” nada yang tadinya mengandung semangat juang empat lima seketika berubah seperti seorang ibu yang sangat mengkhawatirkan anaknya.
Diam, bagiku adalah jawaban terbaik sekarang ini, aku tak mau menyeret Artika ke dalam masalahku. Aku tak mau dia merasa iba dan kasihan padaku apalagi merasa sedih. Namun mungkin bagi Artika ini hal yang paling mengecewakan, ketika seorang sahabat menutup diri dari dirinya dan sibuk memikirkan masalahnya sendiri dan seolah tidak menganggapnya ada.
Setelah beberapa waktu, Artika pun menyerah dan beranjak dari sampingku hendak meninggalkanku sendiri dan memberikan peluang bagi gelombang permasalahan kembali bertahta di kepalaku.
“Tik…” kuraih tangan Artika yang ingin pergi.
“Maafin, gue selama ini gue ngga mau cerita sama lo tentang masalah gue bukan karena gue ngga nganggep lo sebagai sahabat gue tapi gue takut lo bakalan merasa sedih sama kaya gue dan malahan iba sama gue…..”
Artika kembali duduk di sampingku dengan wajah ingin tahu namun menenangkan. Kupandangi wajahnya dengan sisa keberanian yang kupunya, kuceritakan semua yang terjadi padaku, Mama, dan kedatangan Papa tadi malam.
“Terus? Setelah lo tanya pembantu lo, mereka bilang Bokap lo ga nginep, gitu? Bahkan ga ada yang tahu kalo bokap lo malem-malem langsung pergi?” selidik Tika.
Kuanggukan kepalaku sebagai tanda setuju. Sungguh, aku tak kuat lagi kalau harus mengeluarkan semuanya sekali lagi.
“Segitu parahnya, ya? Sampai Bokap lo ga mau orang rumah lo pada tahu terutama Nyokap lo?” lanjutnya seraya menepuk-nepuk bahuku.
“Sabar, ya…Tapi kalo menurut gue lo harus ngomong sama Nyokap lo biar masalahnya ngga berlarut-larut dan situasinya jadi bener-bener ngga enak. Lo harus yakinin dia kalo lo bukan lagi anak kecil yang ngga berhak tahu apa-apa. Biar bagaimanapun ini telah menjadi masalah lo juga, karena lo juga bagian dari keluarga Nyokap dan Bokap lo,” tandasnya dengan nada menasihati. Dan sekali lagi kujawab dengan sebuah anggukan.
* * *

Setibanya di rumah, kuletakkan tas dan segera berganti baju. Niatku sudah bulat untuk melaksanakan nasihat dari Artika, aku memang sudah cukup dewasa untuk diperlakukan seperti anak kecil.
Kusantap makan siang sambil menonton televisi, suapan demi suapan berhasil meluncur ke perutku yang memang sedang kosong. Tak tahu kenapa hari ini acara televisi sangat membosankan lagi-lagi acara infotainment yang menyajikan berita para artis dengan sejuta sensasi, kutukar satu per satu channel untuk melihat acara yang mungkin lebih menarik dan pilihanku adalah acara berita yang dahulu sangat disukai Papa sebelum masalah merundung keluarga kami.
“Berita selanjutnya, ditemukan sesosok mayat di daerah sekitar kali Ciliwung. Diduga pria malang ini adalah korban dari perampokan karena ditemukan dalam keadaan luka-luka di sekitar tubuhnya yang diperkirakan korban mengadakan perlawanan ketika kejadian,” sambut si pembawa acara. Layar televisiku langsung dipenuhi oleh gambar pria malang tersebut yang kabarnya selama seminggu lebih terbawa air kali Ciliwung.
Kuperhatikan sosok mayat yang telah membusuk dan membekak karena air. Kemeja lengan pendek berwarna biru berselang garis putih, celana hitam panjang dan ikat pinggang yang sudah lusuh masih mengikat kuat di celananya. Entah mengapa, aku semakin penasaran dengan sosok tersebut mungkinkan itu…..PAPA???
Benar, tampilan Papa malam itu sama seperti yang dikenakan mayat itu dan yang lebih meyakinkanku kalau sosok itu adalah Papa karena ada tato AA di pergelangan tangannya yang mengisyaratkan Andira Arjuna nama Mama dan Papa.
“Sekarang mayat tersebut telah dibawa ke RSCM guna penyelidikan lebih lanjut.”
Tanpa peduli makanan yang ada di hadapanku, aku langsung berlari ke kamar kusambar tas dan dompetku, buru-buru berlari keluar, lari dan terus berlari yang kutahu sekarang aku harus segera ke RSCM, aku harus melihat Papa, aku….
TIN…TIN…TIN…TIN….suara motor yang dari tadi meraung di belakang tak kupedulikan air mata yang semakin deras mulai mengaburkan pandanganku.
“Din!! Dini..” teriakan dari pengendara motor dibelakang memaksaku untuk menoleh.
“Din, ada apa? Kamu mau kemana sini aku anter?” lanjut si pengendara motor yang lantas membuka penutup helmnya, Eza. Ternyata motor yang dari tadi sibuk mengklaksoniku adalah Eza, yang kini telah menjadi pacarku bukan lagi cowo yang selama ini hanya dapat kukagumi dari jauh dan menjadi teman di setiap mimpiku.
“Aku, aku mau ke RSCM,” jawabku tergesa-gesa.
“Ya, udah naik…” katanya seraya menyodorkan helm.
Semuanya berjalan begitu lambat, aku ingin segera bertemu dengan sosok yang membuatku begitu risau, sosok yang selama ini mengerti aku, sosok yang menjadi teman sejati, sosok yang begitu memanjakanku…PAPA. Kupererat pelukanku pada Eza kuharap dia tidak keberatan karena sekarang aku sangat butuh sandaran. Sejurus kemudian aku dan Eza telah sampai di RSCM, kutinggalkan Eza yang sedang memarkirkan motornya, kuberlari sekuat tenaga menyusuri lorong RSCM yang kupikirkan hanya satu hal yaitu aku harus menemukan Papa.
“Mba..Korban perampokan yang baru saja di bawa kesini dimana, Mba?” tanyaku pada seorang suster yang duduk di belakang kursi resepsionis.
“Oh, di kamar mayat. Dari sini lurus aja, mentok belok kiri.”
Kuucapkan terima kasih seraya berlari, tak berapa lama kemudian aku sudah sampai di sana, kamar mayat, dengan langkah gontai kutelusuri jalan menuju ruangan itu. Masih seperti mimpi bagiku yang kuharap bila ini mimpi segera bangunkan aku. Airmataku mengalir semakin deras, aku tak ingin percaya bahwa di dalam sana ada orang yang sangat berarti bagiku, orang yang begitu mengerti aku, orang yang selama ini selalu ada bagiku, orang yang selalu membelaku manakala Mama menghukumku, orang yang menjadi sandaranku selama ini...PAPA, membujur kaku tak bernyawa. Saat ini aku sudah tak sanggup lagi melangkah serasa ada satu ton batu yang diikatkan ke kakiku namun tiba-tiba ada yang menggandeng tanganku dan seperti menguatkanku, mengisi kembali tenaga yang terkuras, kutengok dengan tenaga yang masih tersisa, Eza sudah disampingku sambil tersenyum dan mempererat genggaman tangannya. Kubuka pintu kamar yang tidak dikunci itu dengan tangan yang bebas dan perlahan terbuka. Yang pertama kali kulihat adalah Mama yang sedang berlari keluar sambil menangis, ya… Mama menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil yang kehilangan barang kesayangannya memaksaku mendekatinya dan memeluknya. Kami berdua pun menangis bersama karena rasanya ada sesuatu yang ingin keluar dan tak lagi dapat kami bendung. Sekarang kami benar-benar berdua, tak ada lagi sosok Papa. Kuharus dapat menerima semuanya, mungkin ini yang Papa bilang keadaan yang semakin menyulitkan namun aku juga harus tegar dan kuat seperti pesannya.
* * *

Pa, aku akan kuat, Pa…Seperti yang Papa bilang. Papa juga akan terus ada didekat aku, kan? Ya kan, Pa? Papa...Aku ngga akan bisa melupakan Papa walaupun aku tahu kenapa Mama dan Papa ribut, walaupun Papa sudah tidak setia pada Mama. Tapi aku akan setia, Pa. Aku akan setia menjaga Mama dan aku akan selalu sayang sama Papa sampai kapan pun karena bagiku Papa tak tergantikan.